LAMPU HIAS KAYUTANGAN
Nilai Budaya dan Ciri Khas Kota Malang
Koridor Kayutangan saat ini tampak berbeda. Berderet lampu hias telah terpasang di sepanjang pedestrian. Pada malam hari lampu-lampu hias ini menerangi Kawasan Heritage tersebut.
Penataan lampu hias ini diakui sangat menarik perhatian masyarakat. Mereka berbondong-bondong ke Kayutangan ingin melihatnya. Tetapi tidak sedikit yang pulang dengan kecewa setelah menyaksikannya. Menurut mereka lampu hias ini terlalu mirip dengan yang ada di Malioboro Yogyakarta. “Kota Malang jadi tidak punya ciri khas lagi”, ucap mereka.
Ada benarnya apa yang disampaikan masyarakat. Sebagai Kawasan Cagar Budaya, tata ruang Malioboro dengan Kayutangan tentu berbeda. Ciri khas masing-masing tentu berbeda. Ciri khas Ini dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan peruntukan dari kawasan tersebut di masa lalu.
Ciri khas yang melingkupi keruangan Kawasan Cagar Budaya Malioboro tidak terlepas dari Keraton Yogyakarta yang didirikan tahun 1755. Walaupun pernah dikuasai oleh Inggris dan Belanda, lanskap budaya yang tercipta masih sangat kental dipengaruhi oleh budaya Jawa, Hindu-Buddha, dan Islam. Maka tidak heran bahwa bentuk sulur akan banyak muncul pada setiap langgam fisik benda maupun arsitektur bangunan. Terlebih lagi arsitek dari Keraton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwana I sendiri.
Bagaimana dengan Kota Malang khususnya Kayutangan? Kota Malang terbentuk pada tahun 1914. Kayutangan dibangun (revitalisasi) pada tahun 1920-an. Peruntukan Kayutangan adalah sebagai kawasan bisnis dan pertokoan bagi kalangan orang Eropa. Karakteristik arsitektural bangunannya adalah Indis, yaitu percampuran wujud arsitektur Eropa (Belanda) dan lokal (Jawa). Lebih tepatnya adalah model Art Deco yang sedang populer saat itu, dengan gaya kubisme, futurisme dan konstruktivisme. Garis yang tegas simetris lebih diutamakan dan mengurangi ornamen agar terkesan lebih dinamis. Arsitek dan tata kota untuk Kota Malang adalah Thomas Karsten yang berkebangsaan Belanda.
Tujuan dari cagar budaya adalah pelestarian, dengan upaya untuk mempertahankan keberadaan dan keaslian agar tidak rusak, hancur, atau musnah. Revitalisasi atau pengembangan cagar budaya diperkenankan asal tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Nah, bentuk dan ornamen dari lampu hias ini apakah sudah sesuai dengan nilai budaya masyarakat Malang? Apakah justru mencerminkan nilai budaya masyarakat dari luar Malang? Tentunya hal ini perlu didiskusikan dengan para ahli, seniman, budayawan, akademisi, dan tentunya masyarakat Malang.
Hal ini tampaknya perlu segera dilakukan mengingat adanya rencana dari Pemkot Malang untuk meneruskan penataan lampu hias yang berada di sepanjang Jalan Kayutangan tersambung hingga ke Kawasan Alun-Alun Tugu atau Bundaran Tugu Malang. Jika penerapan ini salah langkah, maka hilanglah ciri khas Kota Malang.
Kembali ke koridor Kayutangan, bagaimana bentuk asli dari lampu penerangan jalan yang pernah ada? Sepanjang penelusuran melalui foto dan data, penulis sampai saat ini belum menemukan bentuk model tiang lampu di sepanjang Kayutangan. Untuk penelusuran lebih lanjut, penulis akan sedikit menyajikan sejarah lampu penerangan jalan yang ada di Kota Surabaya.
Generasi awal penerangan jalan di Kota Surabaya adalah dibangunnya lampu penerangan dengan bahan bakar minyak kelapa. Kontrak pekerjaan untuk menyalakan maupun mematikan lampu minyak dipercayakan kepada kelompok Cina, mereka mendapat kontrak senilai 230 gulden perbulan untuk pekerjaan itu.
Tapi kemudian pemerintah kolonial Belanda berpikir bahwa kelompok Cina terlalu diuntungkan dengan pekerjaan ini, mereka pun mencari akal. Akhirnya ditemukan jalan keluar. Belanda memanfaatkan tenaga para narapidana untuk menyalakan, mematikan, merawat dan membersihkan lampu-lampu penerangan jalan. Dipekerjakan 20 narapidana dibawah pengawasan ketat aparat untuk menjalankan program ini. Dengan demikian kontrak dengan kelompok Cina berakhir pada tahun 1863.
Periode kedua penerangan jalan di kota Surabaya dimulai pada tahun 1864 ketika pemerintah kolonial menganggarkan nilai sebesar 2.500 gulden guna pengadaan seratus lampu jalan. Tetapi jumlah ini masih jauh dari harapan, jalan-jalan penting seperti Simpang, Kayun, Kaliasin, Keputran , Kupang dan Embong Malang masih saja gelap gulita ketika malam tiba.
Operasional dari pengadaan lampu-lampu baru yang menggunakan minyak tanah ini tidak ditangani langsung oleh pemerintah, tetapi ditangani oleh kontraktor sebagai pihak ketiga. Kontraktor juga membuat instalasi lampion dengan nyala yang begitu terang, tergantung di atas jalan. Orang-orang seketika heboh dengan pemandangan baru ini.
Tiga tahun kemudian tepatnya tanggal 2 April 1867, terjadi peristiwa yang menggegerkan. Seluruh lampion tidak ada yang dinyalakan, kontraktor menuntut dana operasional yang lebih besar. Masalah penerangan menjadi masalah yang cukup serius bagi kota Surabaya.
Periode ketiga dari penerangan jalan di kota Surabaya adalah hadirnya lampu-lampu gas menggantikan lampu minyak tanah. Pada tahun 1877 mulai dipersiapkan membangun sebuah pabrik gas di Gembong. Pipa-pipa utama saluran gas selesai dibangun pada awal 1879, menyusul jaringan gas ke rumah-rumah selesai pada bulan September tahun yang sama.
Tahun 1881, lentera gas pertama di Surabaya dinyalakan. Masalah penerangan jalan kota Surabaya pun terpecahkan. Lampu gas terus berkembang menyemarakkan malam di kota Surabaya. Adapun perkembangan pembangunan lampu gas tercatat sebagai berikut : tahun 1881 : 430 lampu gas, tahun 1900 : 733 lampu gas, tahun 1910 : 1174 lampu gas, tahun 1920 : 1709 lampu gas.
Periode keempat penerangan kota Surabaya adalah tahun 1923 ketika listrik hadir dan menggantikan era lampu gas (setyawan, 2021).
Kawasan Kayutangan direvitalisasi sekitar tahun 1920-an. Tentunya Kayutangan tidak mengalami era penerangan jalan menggunakan bahan bakar minyak kelapa, minyak tanah, dan gas. Pembangunan Kayutangan seiring dengan listrik sebagai tenaga penerangan jalan. Namun bagaimanakah bentuk tiang lampunya?
Dari beberapa foto lama era kolonial, ternyata di sepanjang koridor Kayutangan tidak ada satupun tertemukan tiang lampu penerangan jalan. Yang tampak adalah model instalasi lampu gantung di atas jalan. Lampu pengatur lalu lintas yang berada di perempatan Rajabaly pun saat itu masih menggunakan model menggantung di atas jalan.
Lantas, jika sekarang Pemkot Malang ingin menambahkan dan memasang tiang lampu jalan yang dalam hal ini disebut sebagai lampu hias untuk menambah daya tarik bagi pariwisata di kawasan Kayutangan sebaiknya modelnya seperti apa dan referensinya apa?
Pemkot Malang tidak perlu tergesa mencontoh dari Malioboro Yogyakarta karena kekurangan data. Karena seperti yang penulis singgung diatas, Malioboro Yogyakarta dan Kayutangan Malang berbeda budaya dan berbeda masa/era. Gaya/langgam yang diterapkan tentu berbeda pula. Jika dipaksakan tentu tidak dapat menyatu dengan arsitektur bangunan yang telah ada.
Arsitektur bangunan yang berada di Kayutangan menerapkan model Art Deco dengan gaya kubisme, futurisme dan konstruktivisme, disertai dengan garis simetris yang tegas dan mengurangi detil ornamen. Seharusnya begitu pula bentuk tiang lampunya.
Dari penelusuran foto, penulis menemukan bentuk tiang lampu penerangan jalan yang memenuhi unsur diatas. Tiang lampu penerangan jalan tersebut berada di bawah ‘Spoor Viaduct’, di Vookampementweg (sekarang Jalan Panglima Sudirman bagian selatan). Bentuk tiang lampu ini sangat simpel dan tanpa ornamen.
Jika menginginkan bentuk lain masih ada lagi referensi yang hingga sekarang masih ada. Tiang lampu tersebut berada di Jembatan Majapahit di Jalan Majapahit (dulu Speelmanstraat) dan Jembatan Kahuripan di Jalan Kahuripan (dulu Riebeeckstraat). Tiang lampu ini berbahan besi dengan bentuk bertingkat dan kurva yang merupakan tipikal dari Art Deco.
Jembatan Majapahit dan Jembatan Kahuripan dibangun untuk menghubungkan Alun-alun Bunder (Alun-alun Tugu) dengan Alun-alun Kotak (Alun-alun lama). Untuk menuju dari Alun-alun Bunder ke Alun-alun Kotak (begitu pula sebaliknya), selain melewati kedua jembatan ini, juga melewati jalan Kayutangan. Jadi kedua jembatan ini merupakan pendukung atau bahkan kesatuan lanskap dengan Kayutangan. Akan menjadi tampak aneh nantinya jika model lampu hias yang sekarang sudah terpasang di Kayutangan dan akan diteruskan ke Alun-alun Bunder berdampingan dengan lampu lama era kolonial, karena berbeda gaya.
Seandainya saja sejak awal rencana pemasangan lampu hias di Kayutangan ini menyertakan sumbang masukan dari para ahli, seniman, budayawan, akademisi, dan masyarakat Kota Malang, tentunya hasilnya tidak seperti sekarang dan menghasilkan ketidakpuasan bagi sebagian masyarakat Kota Malang.
Salam Cagar Budaya
Restu Respati
Pemerhati Cagar Budaya
Facebook Comments